KUBET – Pengusaha Minta Indonesia Tetap Komitmen pada Energi Hijau

Liputan6.com, Jakarta – Sekretaris Jenderal Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI), Anggawira, meminta pemerintah untuk tetap bertahan pada komitmen di jalur energi hijau.

Di tengah seruan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang bakal kembali mendorong penggunaan energi fosil, dengan slogan, “Drill, Baby, Drill.”

Anggawira mengatakan, meskipun Washington DC melalui kebijakan One Big Beautiful Bill Act (OBBBA) mencabut berbagai insentif energi bersih dan memperkuat eksploitasi minyak dan gas AS, mayoritas negara dunia justru mempercepat transisi energi.

Ia mencontohkan Uni Eropa, yang tetap berkomitmen pada CBAM (Carbon Border Adjustment Mechanism) yang akan mengenakan pajak karbon pada barang ekspor dari negara yang tidak menerapkan standar rendah emisi.

Kemudian China, dengan Belt and Road Initiative bakal mengedepankan green infrastructure dan investasi energi bersih. Termasuk negara-negara ASEAN seperti Vietnam dan Thailand, yang semakin agresif mengadopsi solar PV, EV, dan green hydrogen untuk menarik investor industri bersih.

“Kesimpulannya, OBBBA bersifat domestik dan temporer, sedangkan arah global sudah mengunci jalur transisi energi,” ujar Anggawira kepada Liputan6.com, Sabtu (5/7/2025).

Pria yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batubara Indonesia (Aspebindo) tersebut menilai, Indonesia punya modal energi baru terbarukan (EBT) yang sangat besar, sehingga sayang untuk diabaikan. 

2 dari 3 halaman

Potensi Energi Surya, Angin dan Air

Menurut dia, Indonesia memiliki potensi energi Surya lebih dari 200 GWp. Kemudian ada juga potensi energi air atau hidro dan pumped storage, kemudian geothermal atau panas bumi terbesar kedua di dunia, serta biomassa dan angin di wilayah timur. 

Namun, pemanfaatannya masih rendah. EBT hanya menyumbang sekitar 12 persen dari bauran energi nasional per 2023. Sementara kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) skala besar kurang dari 1 GW.

“Jika Indonesia tidak segera mengembangkan potensi ini, maka kita akan kehilangan peluang menjadi eksportir energi hijau (misalnya green hydrogen, green ammonia). Industri lokal akan tertinggal dalam sertifikasi hijau untuk ekspor ke pasar global. Rantai pasok global akan menjauhi kita karena tidak ramah lingkungan,” bebernya. 

 

3 dari 3 halaman

Industrialisasi Hijau = Akses Pasar + Daya Saing

Anggawira menilai, industrialisasi hijau bukan hanya soal lingkungan, tapi soal bisnis dan kelangsungan industri ekspor.

Lantaran, ia menyebut produk dengan jejak karbon tinggi akan dipersulit masuk pasar global. Di sisi lain, pabrik dan smelter berbasis EBT akan lebih dipercaya oleh investor. Kemudian pabrik nikel, baterai EV, dan petrokimia akan lebih kompetitif jika didukung energi bersih (bukan batu bara).

“Kita harus menciptakan green competitiveness jika ingin bertahan di global value chain,” pungkas Anggawira.

 

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *